Mubtada’ biasa diterjemahkan dengan “isim yang dibaca rafa’ yang jatuh di awal jumlah”. Dalam konteks ini penting untuk ditegaskan bahwa istilah “ di awal jumlah” memiliki banyak terjemahan, antara lain yaitu :

1. Ibtida’iyah :

Istilah ibtida’iyah merujuk pada pengertian “di awal jumlah” yang sama sekali tidak didahului oleh jumlah yang lain karena ia memang berada di awal alenia. Setiap permulaan jumlah ibtida’iyah disebut “di awal jumlah” yang apabila berupa isim ma’rifat, maka memungkinkan ditentukan sebagai mubtada’. contoh:

الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْأْنْبِيَاءَ وَالْمُرْسَلِيْنَ

(Lafadz الْحَمْدُ berada “di awal jumlah” dalam arti ibtida’iyyah)

2. Isti’nafiyah :

Istilah isti’nafiyah merujuk pada pengertian “di awal jumlah”, akan tetapi terletak di tengah-tengah alenia. Hal ini berarti sebelum jumlah ini terdapat jumlah lain yang sudah tamm (sempurna). Setiap permulaan jumlah isti’nafiyah disebut “di awal jumlah” yang apabila berupa isim ma’rifat , maka memungkinkan untuk ditentukan sebagai mubtada’. Contoh :

اَلْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ

(Lafadz الصَّلَاةُ berada “di awal jumlah” dalam arti isti’nafiyyah)

3. I’tiradliyah :

Istilah I’tiradliyah merujuk pada pengertian “di awal jumlah” yang menjadi kalimat sisipan. Pada umumnya jumlah I’tiradliyah berfungsi sebagai doa yang keberadaannya sama sekali tidak mempengaruhi substansi jumlah asal. Karena demikian, keberadaannya memungkinkan untuk dihilangkan. Setiap permulaan jumlah i’tiradliyah disebut “di awal jumlah” yang apabila berupa isim ma’rifat, maka memungkinkan ditentukan sebagai mubtada’. Contoh:

قَالَ النَّبِيُّ_صَلَاةُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ_إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

(Lafadz صَلَاةُ اللهِ berada “di awal jumlah” dalam arti i’tiradliyyah)

4. Maushuliyah :

Istilah maushuliyah merujuk pada pengertian “di awal jumlah” yang jatuh setelah isim maushul. Asumsi dasarnya adalah setiap isim maushul pasti membutuhkan shilat al-maushul yang wajib berupa jumlah. Karena demikian, yang jatuh setelah isim maushul pasti berupa jumlah baru yang dalam tataran selanjutnya disebut sebagai shilat al-maushul. Setiap permulaan jumlah yang jatuh setelah isim maushul disebut “di awal jumlah” yang apabila berupa isim ma’rifat, maka memungkinkan ditentukan sebagai mubtada’. Contoh :

جَاءَ الَّذِيْ أُسْتَاذُهُ مَاهِرٌ

(Lafadz أُسْتَاذُهُ berada “di awal jumlah” dalam arti maushuliyyah)

5. Washfiyah :

istilah washfiyah merujuk pada pengertian “di awal jumlah” yang jatuh setelah isim nakirah. Di dalam bahasa Arab terdapat istilah “na’tul jumlah”. Na’tul jumlah adalah setiap jumlah yang jatuh setelah isim nakirah. Setiap permulaan jumlah yang jatuh setelah isim nakirah disebut sebagai “di awal jumlah” yang apabila berupa isim ma’rifat, maka memungkinkan ditentukan sebagai mubtada’. Contoh :

جَاءَ رَجُلٌ أَبُوْهُ غَنِيٌّ

(Lafadz أَبُوْهُ berada “di awal jumlah” dalam arti washfiyyah)

6. Haliyah :

Istilah haliyah merujuk pada pengertian “di awal jumlah” yang jatuh setelah isim ma’rifat. Di dalam bahasa Arab terdapat istilah “hal jumlah”. Hal jumlah adalah setiap jumlah yang jatuh setelah isim ma’rifat. Setiap permulaan jumlah yang jatuh setelah isim ma’rifat disebut “di awal jumlah“ yang apabila berupa isim ma’rifat, maka memungkinkan ditentukan sebagai mubtada’ contoh :

جَاءَ الْأُسْتَاذُ وَالشَّمْسُ طَالِعَةٌ

(Lafadz وَالشَّمْسُ berada “di awal jumlah” dalam arti haliyyah)

_________ Sumber : www.albidayahjember.com _________
𝗣𝗲𝗿𝗶𝗵𝗮𝗹 𝗜𝗻𝗳𝗼 𝗹𝗲𝗻𝗴𝗸𝗮𝗽 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐀𝐥 𝐁𝐢𝐝𝐚𝐲𝐚𝐡, 𝗰𝗲𝗸 𝗹𝗶𝗻𝗸 𝗯𝗲𝗿𝗶𝗸𝘂𝘁 : https://yubi.id/metodealbidayah

LEBIH JAUH TENTANG DEFINISI MUBTADA’ DAN MACAM-MACAMNYA