Di dalam bahasa Arab, ada istilah wazan dan mauzun. secara bahasa wazan diartikan sebagai “timbangan”, sedangkan secara istilah wazan dapat diterjemahkan dengan “lafadz tertentu” yang harus dijadikan sebagai patokan, ukuran dan standar untuk “lafadz yang lain” yang dalam tataran selanjutnya disebut sebagai mauzun (yang ditimbang) dalam rangka mengharakati dan memberikan tambahan huruf. Pada umumnya wazan terdiri dari fa’, ain dan lam (فعل), sedangkan lafadz yang terdiri dari selain fa’, ain dan lam disebut mauzun.

Perhatikan contoh berikut ini:

Lafadzنَصَرَ adalah mauzun yang cara baca (harakat) dan jumlah hurufnya harus disesuaikan dengan wazannya, yaitu lafadz فَعَلَ. Jumlah huruf wazan (فَعَلَ) ada tiga, demikian juga jumlah huruf mauzun (نَصَرَ) juga ada tiga. Harakat yang terdapat dalam wazan (فَعَلَ) adalah fathah, fathah dan fathah, demikian juga harakat yang terdapat dalam mauzun (نَصَرَ) adalah fathah, fathah dan fathah.
lafadz نَاصِرٌ adalah mauzun yang cara baca (harakat), jumlah huruf, penambahan huruf dan jenis huruf tambahannya harus disesuaikan dengan wazannya yaitu lafadz فَاعِلٌ. tambahan huruf yang terdapat dalam wazan (فَاعِلٌ) adalah alif yang terletak setelah fa’ fi’il, demikian juga tambahan huruf yang terdapat pada mauzun (نَاصِرٌ) adalah alif yang terletak setelah fa’ fi’il.
lafadz مَنْصُوْرٌ adalah mauzun yang cara baca (harakat), jumlah huruf, penambahan huruf dan jenis huruf tambahannya harus disesuaikan dengan wazannya, yaitu lafadz مَفْعُوْلٌ, dan begitu seterusnya. Tambahan huruf yang terdapat dalam wazan (مَفْعُوْلٌ) adalah mim yang terletak sebelum fa’ fi’il dan wau yang terletak setelah ain fi’il. Demikian juga tambahan yang terdapat dalam mauzun (مَنْصُوْرٌ) adalah mim yang terletak sebelum fa’ fi’il dan wau yang terletak setelah ain fi’il.

Antara wazan dan mauzun harus ada kesamaan, baik dari sisi jumlah huruf maupun jenis harakatnya. Ketika jumlah huruf yang dimiliki oleh mauzun tidak sama dengan jumlah huruf yang dimiliki oleh wazan, maka dapat dipastikan sudah terjadi proses I’lal dalam diri mauzun. Ketika jenis harakat yang dimiliki oleh mauzun tidak sama dengan jenis harakat yang dimiliki oleh wazan, maka dapat dipastikan sudah terjadi proses I’lal dalam diri mauzun. Jadi, I’lal merupakan penjelasan tentang sebuah realitas yang terjadi pada mauzun yang tidak sama dengan wazannya, baik ketidak samaan itu dari sisi jenis harakat maupun jumlah hurufnya.

Lafadz أَبَانَ merupakan mauzun dari lafadz أَفْعَلَ. Dari sisi jumlah huruf antara lafadz أَبَانَ yang dianggap mauzun dengan lafadz أَفْعَلَ yang dianggap sebagai wazan adalah sama, yaitu empat huruf. Akan tetapi, dari sisi harakat yang dimiliki oleh keduanya jenisnya berbeda. Harakat yang dimiliki oleh أَبَانَ adalah fathah, fathah, sukun dan fathah, sedangkan harakat yang dimiliki oleh أَفْعَلَ adalah fathah, sukun, fathah dan fathah. Dalam konteks inilah harus ditegaskan bahwa lafadz أَبَانَ sudah mengalami proses I’lal karena jenis harakatnya berbeda dengan wazannya (أَفْعَلَ).

Lahadz قُلْ dianggap mauzun dari lafadz اُفْعُلْ. Dari sisi jumlah huruf dan jenis harakat antara lafadz قُلْ sebagai mauzun dengan lafadz اُفْعُلْ sebagai wazan tidak sama. Jumlah huruf dari lafadz قُلْ sebagai mauzun ada dua, sementara jumlah huruf dari اُفْعُلْ sebagai wazan ada empat. Demikin juga harakat yang dimiliki oleh lafadz قُلْ sebagai mauzun tidak sama dengan harakat yang dimiliki oleh اُفْعُلْ sebagai wazan. Harakat yang dimiliki oleh قُلْ adalah dlammah dan sukun, sementara harakat yang dimiliki oleh اُفْعُلْ adalah dlammah, sukun, dlammah dan sukun. Karena pertimbangan ketidaksamaan yang dimiliki oleh mauzun (قُلْ) dengan wazan (اُفْعُلْ), maka dapat dipastikan bahwa lafadz قُلْ sebagai mauzun telah mengalami proses I’lal.

Perhatikan contoh aplikatif berikut ini:

Lafadz صَانَ merupakan bentuk mauzun dari wazan فَعَلَ. meskipun dari sisi jumlah huruf antara keduanya sama, yaitu sama-sama berjumlah huruf tiga, akan tetapi dari sisi jenis harakat yang dimiliki oleh keduanya tidak sama. Karena demikian dapat dipastikan mauzun صَانَ telah mengalami proses I’lal. Sedangkan kaidah I’lal untuk kasus ini adalah:

إِذَا تَحَرَّكَتِ الْوَاوُ وَالْيَاءُ بَعْدَ فَتْحَةٍ مُتَّصِلَةٍ فِيْ كِلْمَتَيْهِمَا اُبْدِلَتَا اٰلِفًا مِثْلُ صَانَ وَبَاعَ اَصْلُهُمَا صَوَنَ وَبَيَعَ

“apabila wau dan ya’ berharakat dan jatuh setelah fathah yang bersambung dalam dua kalimahnya, maka wau dan ya’ harus diganti dengan alif, seperti lafadz صَانَ dan بَاعَ asal dari keduanya adalah صَوَنَ dan بَيَعَ“

Aplikasi dari kaidah ini untuk kasus صَانَ adalah:

صَانَ اَصْلُهُ صَوَنَ عَلَى وَزْنِ فَعَلَ اُبْدِلَتِ الْوَاوُ اٰلِفًا لِتَحَرُّكِهَا بَعْدَ فَتْحَةٍ مُتَّصِلَةٍ فِىْ كِلْمَتِهَا فَصَارَ صَانَ

“lafadz صَانَ [1]asalnya adalah صَوَنَ mengikuti wazan فَعَلَ. wau diganti dengan alif karena ia berharakat dan jatuh setelah harakat fathah yang bersambung dalam satu kalimah, maka kemudian lafadz صَوَنَ berubah menjadi صَانَ“

Lafadzمَسِيْرٌ merupakan bentuk mauzun dari wazan مَفْعُوْلٌ. kalau dibandingkan antara keduanya, maka dapat dipastikan bahwa baik jumlah huruf, maupun jenis harakat antara keduanya jelas berbeda. Karena demikian dapat dipastikan bahwa mauzun مَسِيْرٌ telah mengalami proses I’lal. Kaidah I’lal untuk kasus ini adalah:

اِنَّ اسْمَ الْمَفْعُوْلِ اِذَا كَانَ مِنْ مُعْتَلِّ الْعَيْنِ وَجَبَ حَذْفُ وَاوِ الْمَفْعُوْلِ مِنْهُ

“ isim maf’ul apabila berasal dari mu’tal ain, maka wawu yang terdapat dalam wazan مَفْعُوْلٌ harus dibuang”

Aplikasi dari kaidah ini untuk kasus مَسِيْرٌ adalah:

مَسِيْرٌ اَصْلُهُ مَسْيُوْرٌ عَلَى وَزْنِ مَفْعُوْلٌ نُقِلَتْ حَرْكَةُ الْيَاءِ اِلَى مَا قَبْلَهَا لِتَحَرُّكِهَا وَسُكُوْنِ حَرْفٍ صَحِيْحٍ قَبْلَهَا دَفْعًا لِلثِّقَلِ فَصَارَ مَسُيْوْرٌ فَالْتَقَى السَّاكِنَانِ وَهُمَا يَاءُ الْعَيْنِ وَوَاوُ الْمَفْعُوْلِ فَحُذِفَتْ وَاوُ الْمَفْعُوْلِ دَفْعًا لِاْلتِقَاءِ السَّاكِنَيْنِ فَصَارَ مَسُيْرٌ ثُمَّ كُسِرَتِ السِّيْنُ لِتَسَلُّمِ الْيَاءِ فَصَارَ مَسِيْرٌ

“lafadz مَسِيْرٌ[2] asalnya adalah مَسْيُوْرٌ mengikuti wazanمَفْعُوْلٌ . harakat ya’ harus dipindah pada huruf sebelumnya karena ya’ berharakat dan huruf shahih sebelumnya disukun. Hal ini dilakukan untuk menolak tsaql (beratnya pengucapan) sehingga menjadi مَسُيْوْرٌ. kemudian terjadilah pertemuan dua sukun, yaitu sukunnya huruf ya’ dan wau wazan. Selanjutnya dibuanglah wawu wazan untuk menolak pertemuan dua huruf sukun, maka menjadi مَسُيْرٌ. kemudian huruf sin dikasrah untuk penyelamatan atau penyesuaian ya’ sehingga menjadi مَسِيْرٌ“.

____________________________________

[1] Lafadz صَانَ yang mengikuti wazanفَعَلَ perlu mendapatkan penjelasan karena terdapat perbedaan jenis harakat antara صَانَ dengan فَعَلَ sebagai wazannya. setiap terjadi perbedaan antara wazan dengan mauzunnya, baik dari sisi jumlah huruf atau jenis harakatnya, maka pasti terjadi proses I’lal.

[2] Lafadzمَسِيْرٌ yang mengikuti wazanمَفْعُوْلٌ perlu mendapatkan penjelasan karena terdapat perbedaan jumlah huruf dan jenis jenis harakat antara مَسِيْرٌ dengan مَفْعُوْلٌ sebagai wazannya. setiap terjadi perbedaan antara wazan dengan mauzunnya, baik dari sisi jumlah huruf atau jenis harakatnya, maka pasti terjadi proses I’lal.

_________ Sumber : www.albidayahjember.com _________
𝗣𝗲𝗿𝗶𝗵𝗮𝗹 𝗜𝗻𝗳𝗼 𝗹𝗲𝗻𝗴𝗸𝗮𝗽 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐀𝐥 𝐁𝐢𝐝𝐚𝐲𝐚𝐡, 𝗰𝗲𝗸 𝗹𝗶𝗻𝗸 𝗯𝗲𝗿𝗶𝗸𝘂𝘁 : https://yubi.id/metodealbidayah

MENGENAL ILMU I’LAL !