Huruf lam merupakan huruf yang memiliki multi status. Salah satu status yang dimiliki oleh lam adalah lam ibtida’. Lam ibtida’ biasa didefinisikan dengan:

لَامُ الْإِبْتِدَاءِ هِيَ اللَّامُ الْمَفْتُوْحَةُ فِيْ قَوْلِكَ لَزَيْدٌ مُنْطَلِقٌ[1]

“lam ibtida’ adalah lam yang difathah sebagaimana yang terdapat di dalam contoh لَزَيْدٌ مُنْطَلِقٌ“.

Dalam konteks ini perlu untuk ditegaskan bahwa “Ibtida’” secara bahasa berarti “permulaan”. Karena demikian, sebuah lam disebut sebagai lam ibtida’ karena posisinya ada di permulaan jumlah dan tidak bisa disebut sebagai lam ibtida’ apabila posisinya tidak berada di permulaan jumlah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Ibnu Aqil dalam syarah alfiyyahnya Sebagai berikut:

وَلَامُ الْاِبْتِدَاءِ لَهَا صَدْرُ الْكَلَامِ[2]

“lam ibtida’ memiliki hak untuk berada di awal kalam”

Di dalam kitab Mawsu’at al-Nahwi ditegaskan bahwa; letak dan posisi lam ibtida’ yang berada di permulaan jumlah bisa bervariasi[3], antara lain:

1. Bertempat pada Mubtada’

Contoh: لَاَنْتُمْ أَشَدُّ رَهْبَةً (lam ibtida’ bertempat pada mubtada’ / أَنْتُمْ yang berada di awal jumlah).

2. Bertempat pada Khabar

Contoh: لَذَكِيٌّ خَالِدٌ (lam ibtida’ bertempat pada khabar / ذَكِيٌّ yang berada di awal jumlah).

3. Bertempat pada Fi’il mudlari’

Contoh: لَيُحِبُّ اللهُ الْمُحْسِنِيْنَ (lam ibtida’ bertempat pada fi’il mudlari’ / يُحِبُّ yang berada di awal jumlah).

4. Bertempat pada Fi’il madli jamid

Contoh: لَبِئْسَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ (lam ibtida’ bertempat pada fi’il madli jamid / بِئْسَ yang berada di awal jumlah).

5. Bersamaan dengan قَدْ

Contoh: [4]لَقَدْ كَانَ فِيْ يُوْسُفَ وَإِخْوَتِهِ اٰيَاتٌ لِلسَّائِلِيْنَ (lam ibtida’ bertempat pada قَدْ yang berada di awal jumlah).

Selanjutnya penting untuk diketahui bahwa posisi lam ibtida’ memungkinkan digeser dari posisinya awalnya yang berada di permulaan jumlah. Pergeseran ini terjadi karena jumlah ismiyyah yang di dalamnya terdapat lam ibtida’ dimasuki olehإِنَّ . Pada saat jumlah ismiyyah yang diawali oleh lam al-ibtida’ dimasuki oleh إِنَّ, maka posisi lam ibtida’ harus digeser, karena seandainya tidak digeser, maka huruf اِنَّ yang memiliki fungsi taukid akan masuk pada lam ibtida’ yang juga memiliki fungsi taukid. Hal ini merupakan sesuatu yang harus dihindari. Sebagaimana uraian berikut ini:

وَإِنَّمَا تَأَخَّرَتْ لِئَلَّا يَدْخُلَ حَرْفُ تَوْكِيْدٍ عَلَى مِثْلِهِ.[5]

“lam ibtida’ harus diakhirkan (digeser) agar huruf taukid tidak masuk pada huruf yang juga memiliki fungsi yang sama”

Pada saat posisi lam ibtida’ digeser dari tempat awalnya yang berada dipermulaan jumlah, maka ia tidak lagi disebut sebagai lam ibtida’ akan tetapi disebut sebagai lam muzahlaqah atau muzahlafah. Hal ini sesuai dengan penegasan berikut ini:

وَتَدْخُلُ لَامُ الْاِبْتِدَاءِ بعْدَ "إِنَّ" الْمَكْسُوْرَةِ، نَحْوُ: إِنَّ زَيْدًا لَقَائِمٌ، وَتُسَمَّى اللَّامَ الْمُزَحْلَقَةَ، وَالْمُزَحْلَفَةَ.[6]

“lam ibtida’ masuk setelah إِنَّ yang dikasrah hamzahnya, seperti إِنَّ زَيْدًا لَقَائِمٌ. lam ibtida’ semacam ini disebut sebagai lam muzahlaqah atau muzahlafah”

Secara umum bisa dikatakan bahwa lam muzahlaqah selalu bertempat pada lafadz yang berposisi sebagai khabar dengan berbagai variasinya[7]. Perhatikan contoh lam ibtida’ yang digeser dan diletakkan pada khabar sehingga berubah nama menjadi lam muzahlaqah berikut ini:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَكَثِيْرُ الْحَيَاءِ : (jumlah ismiyyah dalam contoh ini dimasuki oleh إِنَّ. lam ibtida’ yang sebenarnya harus ditempatkan pada mubtada’ digeser dan ditempatkan pada khabar mufrad, yaitu lafadz لَكَثِيْرُ الْحَيَاءِ).
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُكْثِرُ مِنَ الدُّعَاءِ : (jumlah ismiyyah dalam contoh ini dimasuki oleh إِنَّ. lam ibtida’ yang sebenarnya harus ditempatkan pada mubtada’ digeser dan ditempatkan pada khabar jumlah fi’liyah yang fi’ilnya berupa fi’il mudlari’, yaitu lafadz لَيُكْثِرُ).
إِنَّ التَّقِيَّ لَعَلَى سَوَاءِ السَّبِيْلِ : (jumlah ismiyyah dalam contoh ini dimasuki oleh إِنَّ. lam ibtida’ yang sebenarnya harus ditempatkan pada mubtada’ digeser dan ditempatkan pada khabar syibhu al-jumlah yang berupa jer-majrur, yaitu lafadz لَعَلَى سَوَاءِ السَّبِيْلِ).
إِنَّ الْكِتَابَ لَفَوْقَ الطَّاوِلَةِ : (jumlah ismiyyah dalam contoh ini dimasuki oleh إِنَّ. lam ibtida’ yang sebenarnya harus ditempatkan pada mubtada’ digeser dan ditempatkan pada khabar syibhu al-jumlah yang berupa dharaf, yaitu lafadzلَفَوْقَ الطَّاوِلَةِ)
إِنَّا لَنَحْنُ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرُ أُمَّةٍ : ( jumlah ismiyyah dalam contoh ini dimasuki oleh إِنَّ. lam ibtida’ yang sebenarnya harus ditempatkan pada mubtada’ digeser dan ditempatkan pada khabar jumlah ismiyyah, yaitu lafadz لَنَحْنُ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرُ أُمَّةٍ )
اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ : ( jumlah ismiyyah dalam contoh ini dimasuki oleh إِنَّ. lam ibtida’ yang sebenarnya harus ditempatkan pada mubtada’ digeser dan ditempatkan pada dlamir fashl, yaitu lafadz لَهُوَ )[8]

Pengarang kitab Mughni al-Labib menegaskan bahwa fungsi dari lam ibtida’ ada dua, yaitu: تَوْكِيْدُ مَضْمُوْنِ الْجُمْلَةِ (menguatkan kandungan kalimat) dan تَخْلِيْصُ الْمُضَارِعِ لِلْحَالِ (memurnikan fi’il mudlari hanya untuk zaman hal)[9]

Dalam kajian tentang lam ibtida’ dan lam muzahlaqah, para ahli seringkali mengkaitkan dengan lam fariqah. Hal ini memang sangat relevan karena terdapat persamaan susunan secara dzahir antara jumlah ismiyyah yang dimasuki oleh lam muzahlaqah dengan jumlah ismiyyah yang dimasuki oleh lam fariqah[10].

Lam fariqah adalah lam yang difathah yang didatangkan untuk membedakan dan memastikan bahwa hamzah+nun yang jatuh sebelumnya adalah merupakan إِنَّ yang ditakhfif (disukun) sehingga menjadi إِنْ yang tetap diartikan dengan “sesungguhnya” dan bukan merupakan إِنْ nafi yang memiliki arti “tidak”. Perhatikan contoh berikut ini:

إِنْ هَذَانِ لَسَاحِرَانِ [طه: 63]

(lam yang terdapat pada lafadz لَسَاحِرَانِ merupakan lam fariqah yang didatangkan untuk membedakan dan memastikan bahwa إِنْ yang jatuh sebelumnya adalah إِنْ yang ditakhfif dari إِنَّ dan bukan merupakan إِنْ النَّافِيَةُ)

وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللهُ [البقرة: 143]

(lam yang terdapat pada lafadz لَكَبِيْرَةً merupakan lam fariqah yang didatangkan untuk membedakan dan memastikan bahwa إِنْ yang jatuh sebelumnya adalah إِنْ yang ditakhfif dari إِنَّ dan bukan merupakan إِنْ النَّافِيَةُ)

Pada saat lam ditentukan sebagai lam fariqah, maka dapat dipastikan bahwa إِنْ yang jatuh sebelumnya merupakan إِنْ yang ditakhfif dari إِنَّ. Tentang bagaimana cara mengi’rab إِنْ yang ditakhfif ini, para ulama’ menawarkan dua alternatif, yaitu:

yang pertama adalah I’mal (tetap menganggap إِنْ beramal menashabkan isim dan merafa’kan khabar) dengan memperkirakan dlamir al-sya’ni sebagai isimnya dan jumlah yang jatuh sesudahnya dianggap sebagai khabar
- إِنْ هٰذَانِ لَسَاحِرَانِ [طه: 63]

Lafadz اِنْ merupakan amil yang berfungsi menashabkan isim dan merafa’kan khabar. Isim dari اِنْ adalah berupa dlamir al-sya’ni yang dibuang yang seandainya dimunculkan menjadi إِنَّهُ, sedangkan khabarnya berupa jumlah ismiyyah yang berupa هٰذَانِ لَسَاحِرَانِ. lam yang terdapat pada lafadz لَسَاحِرَانِ adalah lam fariqah yang memberikan penegasan bahwa اِنْ yang jatuh sebelumnya adalah اِنْ yang ditakhfif dari إِنَّ.

وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللهُ [البقرة: 143]

Lafadz اِنْ merupakan amil yang berfungsi menashabkan isim dan merafa’kan khabar. Isim dari اِنْ adalah berupa dlamir al-sya’ni yang dibuang yang seandainya dimunculkan menjadi إِنَّهَا, sedangkan khabarnya berupa jumlah ismiyyah yang berupa كَانَتْ لَكَبِيْرَةً. Lam yang terdapat pada lafadz لَكَبِيْرَةً adalah lam fariqah yang memberikan penegasan bahwa اِنْ yang jatuh sebelumnya adalah اِنْ yang ditakhfif dari إِنَّ.

yang kedua adalah ihmal (menggugurkan pengamalan اِنْ, sehingga اِنْ tidak beramal menashabkan isim dan merafa’kan khabar). Hal ini dilakukan dengan cara tidak memperkirakan dlamir al-sya’ni, sehingga yang jatuh sesudahnya dianggap merupakan susunan normal jumlah ismiyyah yang terdiri dari mubtada’-khabar yang tidak dimasuki oleh إِنَّ.
- إِنْ هَذَانِ لَسَاحِرَانِ [طه: 63]

Lafadz اِنْ dianggap tidak beramal menashabkan isim dan merafa’kan khabar. Lafadz هٰذَانِ ditentukan sebagai mubtada’ dan لَسَاحِرَانِ ditentukan sebagai khabar. Lam yang terdapat pada lafadz لَسَاحِرَانِ adalah lam fariqah yang memberikan penegasan bahwa اِنْ yang jatuh sebelumnya adalah اِنْ yang ditakhfif dari اِنَّ .

وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللهُ [البقرة: 143]

Lafadz اِنْ dianggap tidak beramal menashabkan isim dan merafa’kan khabar. Lafadz كَانَتْ merupakan fi’il naqish yang beramal merafa’kan isim dan menashabkan khabar. Isim dari كَانَتْ adalah dlamir mustatir berupa هِيَ yang tersimpan di dalam fi’il كَانَتْ, sedangkan khabar dari كَانَتْ adalah lafadz لَكَبِيْرَةً . Lam yang terdapat pada lafadz لَكَبِيْرَةً adalah lam fariqah yang memberikan penegasan bahwa اِنْ yang jatuh sebelumnya adalah اِنْ yang ditakhfif dari إِنَّ.

____________________________________

[1] Ibnu Ya’isy, Syarah Muafashshal li Ibni Ya’isy, Juz 5. Hal 145. Darul Kutub Ilmiyyah, Baerut.

[2] Ibnu Ya’isy, Syarah Muafashshal li Ibni Ya’isy, Juz 4. Hal 532. Darul Kutub Ilmiyyah, Baerut.

[3] Dr. Emil Badi’ Ya’qub, Mausu’at al-Nahwi wa al-Sharfi wa al-I’rabi. Hal. 560. Maktabah al-Anwariyyah. Sarang-Rembang.

[4] Para ahli ada yang berpendapat bahwa lam yang masuk pada lafadz قَدْ bukan termasuk dalam kategori lam ibtida’, akan tetapi termasuk dalam kategori lam jawab dari qasam, baik qasamnya disebutkan atau tidak disebutkan.

[5] Abdullah, Ibn Hisyam, Audlah al-Masalik Syarah Alfiyyah Ibn Malik, Juz 1 Hal 324. Darul Fikr.

[6] Zainuddin al-Mishriy, Syarh al-Tashrih ‘ala al-Taudlih. Juz 1, Hal. 311. Darul Kutub Ilmiyyah, Baerut.

[7] فَائِدَةٌ: تَدْخُلُ اللَّامُ الْمُزَحْلَقَةُ عَلَى خَمْسَةِ أَنْوَاعٍ هِيَ: أَوَّلًا: أَنْ يَكُوْنَ الْخَبَرُ اِسْمًا مُفْرَدًا مُؤَخَّرًا، نَحْوُ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَكَثِيْرُ الْحَيَاءِ. ثَانِيًا: أَنْ يَكُوْنَ الْخَبَرُ جُمْلَةً فِعْلِيَّةً فِعْلُهَا مُضَارِعٌ، نَحْوُ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُكْثِرُ مِنَ الدُّعَاءِ. ثَالِثًا: أَنْ يَكُوْنَ الْخَبَرُ جَارًا وَمَجْرُوْرًا، نَحْوُ: إِنَّ التَّقِيَّ لَعَلَى سَوَاءِ السَّبِيْلِ. رَابِعًا: أَنْ يَكُوْنَ الْخَبَرُ ظَرْفًا، نَحْوُ: إِنَّ الْكِتَابَ لَفْوَقَ الطَّاوِلَةِ، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّهُ فِيْ هٰذِهِ الْحَالَةِ وَالَّتِيْ قَبْلَهَا، لَا يَجُوْزُ أَنْ نُقَدِّرَ الْمُتَعَلَّقَ "اِسْتَقَرَّ" لِأَنَّهُ فِعْلٌ مَاضٍ، وَمَعْمُوْلُ الْفِعْلِ الْمَاضِيْ لَا يَجُوْزُ دُخُوْلُ اللَّامِ عَلَيْهِ كَمَا أَسْلَفْنَا. خَامِسًا: أَنْ يَكُوْنَ الْخَبَرُ جُمْلَةً اِسْمِيَّةً، نَحْوُ: إِنَّا لَنَحْنُ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرُ أُمَّةٍ

Lebih lanjut lihat: Abdullah, Ibn Hisyam, Audlah al-Masalik Syarah Alfiyyah Ibn Malik, Juz 1 Hal 334. Darul Fikr.

[8] وَأَشَارَ بِقَوْلِهِ وَالْفَصْلُ إِلَى أَنَّ لَامَ الْاِبْتِدَاءِ تَدْخُلُ عَلَى ضَمِيْرِ الْفَصْلِ نَحْوُ إِنَّ زَيْدًا لَهُوَ الْقَائِمُ وَقَالَ اللهُ تَعَالَى: ِإنَّ هٰذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ فَـ"هٰذَا" اِسْمُ إِنَّ وَهُوَ ضَمِيْرُ الْفَصْلِ وَدَخَلَتْ عَلَيْهِ اللَّامُ وَالْقَصَصُ خَبَرُ إِنَّ

Lebih lanjut lihat: Abdullah al-Hamadani. Syarah Ibnu Aqil ‘ala Alfiyyah Ibnu Malik. Juz 1. Hal 372, Darut Turats, Cairo

[9] وَفَائِدَتُهَا أَمْرَانِ تَوْكِيْدُ مَضْمُوْنِ الْجُمْلَةِ وَلِهٰذَا زَحْلَقُوْهَا فِيْ بَابِ "إِنَّ" عَنْ صَدْرِ الْجُمْلَةِ كَرَاهِيَةَ ابْتِدَاءِ الْكَلَامِ بِمُؤَكِّدَيْنِ وَتَخْلِيْصُ الْمُضَارِعِ لِلْحَالَ

Lebih lanjut lihat: Shalih al-Utsainmin, Mughni Labib an Kutub al’Ma’arib. Hal 300. Maktabah Rusyd.

[10] Bandingkan dua contoh berikut ini:

إِنْ هٰذَانِ لَسَاحِرَانِ (lam yang terdapat pada lafadz لَسَاحِرَانِ disebut sebagai lam fariqah, sedangkan hamzah+nun yang berada di awal jumlah bacaannya adalah إنْ bukan إنَّ).
إِنَّ هٰذَيْنِ لَسَاحِرَانِ (lam yang terdapat pada lafadz لَسَاحِرَانِ disebut sebagai lam muzahlaqah, sedangkan hamzah+nun yang berada di awal jumlah bacaannya adalah إنَّ bukan إنْ).

_________ Sumber : www.albidayahjember.com _________
𝗣𝗲𝗿𝗶𝗵𝗮𝗹 𝗜𝗻𝗳𝗼 𝗹𝗲𝗻𝗴𝗸𝗮𝗽 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐀𝐥 𝐁𝐢𝐝𝐚𝐲𝐚𝐡, 𝗰𝗲𝗸 𝗹𝗶𝗻𝗸 𝗯𝗲𝗿𝗶𝗸𝘂𝘁 : https://yubi.id/metodealbidayah

TENTANG LAM IBTIDA’, LAM MUZAHLAQAH DAN LAM FARIQAH